Jumat, 26 Oktober 2012

CERITA PENGALAMAN : GURU NGAJIKU

                    Saya tinggal di sebuah desa yang jauh dari Kota Palembang - Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan. Jaraknya yang sekitar 200 km membuat anak-anaknya tidak terlalu terpengaruh terhadap kemajuan zaman (pada waktu itu). Ketika saya masih SD, masih begitu banyak permainan tradisional yang dimainkan oleh saya dan teman-teman saya. Begitu juga dengan pelajaran agama. Saya harus ditanamkan pendidikan agama oleh orang tua saya. Begitu pun dengan taman-teman saya.
                  Seperti layaknya di daerah-daerah lain di Indonesia, mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar bertani. Mungkin hanya beberapa orang yang menjadi guru atau wiraswasta, termasuk ayah saya yang seorang guru SD. Namun mereka semua mempunyai pendirian yang sama – membekali anak-anaknya dengan ilmu agama. Tidak mengherankan jika sejak SD, bahkan TK, tiap sore banyak anak-anak yang mengaji. Anak-anak biasanya berangkat bersama menggunakan sepeda, sekitar pukul tiga sore. Ya, memang sebagian masyarakat di daerah saya beragama islam. Maka dari itu, di sana sangat mudah mencari mushala, masjid, bahkan pondok pesantren sekalipun.
                  Saat kelas I sampai dengan kelas III SD, saya termasuk anak yang bandel dalam urusan mengaji (belajar membaca Al-Quran). Saya sering berpindah-pindah TPA (Taman Pendidikan Al-Quran, tempat anak-anak belajar mengaji). Saya juga sering dimarahi oleh orang tua saya gara-gara saya sering absen atau malas mengaji. Itu semua karena saya tidak menemukan tempat yang cocok untuk belajar mengaji. Semua TPA mempunyai sistem yang tak beda jauh, dimana guru hanya menyimak murid-muridnya membaca Iqro (buku khusus untuk belajar membaca Al-Quran), kemudian hafalan doa sehari-hari. Karena ayah saya ingin agar saya cepat bisa membaca Al-Quran dengan lancar, ayah saya memutuskan agar saya belajar private. Belajar private di sini bukan berarti guru datang ke rumah dengan bayaran yang bisa di bilang wah, tapi saya sendiri yang datang ke rumah guru ngaji saya.
                  Namanya adalah Ust. Mustofa. Beliau adalah tetangga saya, walaupun rumahnya tak begitu dekat dengan rumah saya. Setahu saya, beliau adalah petani biasa. Namun beliau juga mengajar di pesantren dekat rumahnya. Wajar saja, Ust. Mustofa pernah belajar di salah satu pesantren yang ada di Pulau Jawa cukup lama, jadi pengetahuan agamanya sangat luas.
                  Mulai kelas IV SD, sekitar tahun 2005, saya mulai belajar mengaji dengan Ust. Mustofa. Dengan mengendarai sepeda, tiap malam saya datang ke rumahnya. Itu semua karena perintah ayah saya agar saya bisa membaca Al-Quran, bahkan mendalaminya. Ya, karena tak ada siswa lain, saya hanya sendirian. Di ruangan mungkin hanya ada Ust. Mustofa, Bu Itis (istrinya), Ima (anak sulungnya), dan saya. Saya berangkat sesudah Maghrib dan pulang sebelum Isya’. Walau belajarnya tak lebih dari satu jam, namun lebih efiseian karena jumlah siswanya yang hanya satu, bisa dibilang anak tunggal. Dan saya masih ingat betul ketika pertma kali Ust. Mustofa mengajarkan saya membaca surat Al-Fatihah – surat pertama dalam Al-Quran. Waktu itu saya akui kalau saya masih cacat dalam membaca Al-Quran. Perlahan-lahan saya mulai nyaman belajar mengaji di sana.
                 Setiap bulan siswanya selalu bertambah. Ini karena saya selalu mengajak teman-teman saya untuk ikut ngaji bersama di sana. Semakin hari terus semakin bertambah. Bukan hanya anak SD yang mengaji di sana, anak SMP pun juga banyak yang mengaji di sana. Saya pun juga mengajak adik saya untuk menuntut ilmu di sana. Walau hanya menggunakan rumah beliau sebagai tempat belajar, semua merasakan kenyamanan yang sama. Tidak hanya diajarkan membaca Al-Quran, semuanya juga diajarkan sopan santun, fikih, sejarah islam, dan masih banyak lagi.
                Layaknya simbiosis mutualisme – saling menguntungkan. Itulah yang dapat digambarkan antara para siswa, orang tua dan Ust. Mustofa. Dalam hal ini, para siswanya mendapatkan banyak ilmu yang sangat bermanfaat, sedangkan Ust. Mustofa juga mendapat keuntungan dari kami. Beliau bisa dikatakan menjadi ustadz yang sedang naik daun. Setiap ada pengajian, beliau selalu menjadi tamu khusus. Ust. Mustofa juga telah mempunyai jadwal ‘manggung’, dimana setiap Rabu malam dan Sabtu malam beliau harus menghadiri pengajian. Belum lagi undangan-undangan pengajian lainnya yang bisa datang setiap ada acara. Sedangkan orangtua, mereka telah memberikan kepercayaannya kepada Ust. Mustofa terhadap anak-anaknya untuk belajar agama di sana.
               Hingga saya SMP, muridnya pun semakin bertambah. Mulai dari anak SD hingga SMP pun ada. Karena rumahnya sudah bisa dikatakan overload untuk menampung siswa sebanyak itu, maka dibangunlah mushala. Ya, Ust. Mustofa beserta keluarga besarnya dengan bantuan para orang tua murid mampu mendirikan mushala dengan biaya sendiri di samping rumahnya. Namanya juga mushala, ukurannya tak sebesar masjid-masjid pada umumnya. Mushala tersebut dinamakan Wali Songo, karena ayahnya Ust. Mustofa mempunyai sembilan anak. Walau tak begitu besar, mushala ini bisa menampung siswa-siswanya untuk belajar dam beribadah.
              Sistem belajar atau mengajinya pun juga semakin membaik dari tahun ketahun. Karena semakin banyak murid yang mengaji di sana sedangkan tenaga pengajarnya hanya Ust. Mustofa, istri, dan saudaranya, maka beberapa anak diberi kepercayaan untuk menyalurkan ilmunya kepada anak-anak SD, termasuk saya. Saya diberi kepercayaan untuk mengajari anak-anak SD membaca Iqro/Al-Quran. Banyak anak-anak yang harus saya ajari. Sebenarnya, maksud Ust. Mustofa sendiri adalah agar ilmu yang telah ia berikan bisa bermanfaat untuk orang lain. Jadi, ilmu yang telah saya terima haruslah diamalkan ke orang lain. Selain itu, setiap Ramadhan tiba, Ust. Mustofa sering mengadakan buka bersama. Tujuannya tak lain hanya untuk mempererat tali persaudaraan satu sama lain. Walau hanya kue atau makan makanan ringan yang diberikan secara ikhlas dari orang tua murid, semua tampak menikmatinya.
              Di sana, para murid juga ditanamkan sikap terpuji, misalnya selalu bersyukur. Hal ini terlihat ketika salah seorang siswa mendapat juara kelas di sekolahnya, atau mendapat juara dalam sebuah perlombaan, Ust. Mustofa selalu mengadakan syukuran bersama. Semua anak ikut berdoa, berdzikir, bahkan terkadang mendapat makanan dari orang tua murid tersebut. Selain itu, sebelum ulangan/ujian sekolah tiba, Ust. Mustofa juga mengajak murid-muridnya untuk berdoa meminta petunjuk kepada-Nya agar diberikan kemudahan dalam menghadapi ujian. Kegiatan-kegiatan seperti itu mereka ikuti dengan antusias. Para orang tua murid juga merespon baik terhadap kegiatan seperti itu. Sedangkan program belajar yang dimiliki oleh Ust. Mustofa yang menurut saya bagus adalah kegiatan yasinan tiap rumah. Jadi, tiap dua minggu sekali, tepatnya Sabtu sore, Ust. Mustofa mengajak para muridnya untuk membaca surat Yasin dan dzikir bersama di salah satu rumah murid. Dua minggu berikutnya pindah ke rumah murid lainnya. Begitu pun seterusnya.                            Banyak hal yang dapat memotivasi saya dari apa yang Ust. Mustofa miliki. Pertama, keikhlasan hatinya yang patut saya segani. Tahukah Anda? Ust. Mustofa tidak pernah sekalipun meminta bayaran dalam mengajar murid-muridnya. Ia benar-benar ikhlas melakukan itu semua karena Allah semata. Mungkin Ust. Mustofa akan meminta uang hanya untuk keperluan mengaji, seperti membeli spidol. Kedua, kesabarannya yang tiada henti. Ia selalu sabra dalam segala kondisi. Saya pernah melihat Ust. Mustofa dalam keadaan yang benar-benar letih karena selepas pulang dari pengajian. Namun beliau tetap menjalankan amanahnya, yaitu mengajar murid-muridnya. Sebenarnya masih banyak lagi sikap-sikapnya yang patut dicontoh dalam membangun generasi muda saat ini menjadi generasi yang berilmu dan berakhlak.
              Karena saya melanjutkan SMA di Bogor, saya tidak bisa lagi membantu Ust. Mustofa mengajar lagi atau pun mengaji di sana. Walau demikian, tiap kali liburan, saya selalu sempatkan diri untuk mengunjunginya ataupun membantunya mengajar. Ust. Mustofa memang pernah perpesan kepada saya, jika sudah menjadi ‘orang’, jangan pernah lupakan semua orang yang telah membantumu.

2 komentar: