Akhir-akhir
ini banyak sekali media massa yang mengabarkan tentang tawuran antar pelajar.
Bahkan berita tentang tawuran dapat kita saksikan hampir setiap hari di
televisi. Mulai dari tawuran yang biasa sampai sampai yang memakan korban jiwa.
Mulai dari remaja di kota-kota besar, seperti Jakarta, sampai di banyak daerah
di Indonesia. Nyaris memang. Siswa yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk belajar,
malah menyeleweng dari aturan. Misalnya beberapa waktu lalu, kita dihebohkan
oleh berita tawuran yang dilakukan oleh siswa SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70
Jakarta. Tawuran tersebut mengakibatkan tewasnya seorang pelajar kelas X SMAN 6
Jakarta, Alawy Yusianto Putra, tewas akibat luka sabetan benda tajam di bagian
dadanya. Hebohnya lagi, Alawy tidak terlibat dalam tawuran tersebut, ia hanya
menjadi korban tawuran. Tak hanya itu saja. Masih banyak berita tawuran yang
kerap dilakukan oleh para pelajar. Bermodalkan rasa dendam atau cemburu dengan
lawannya, para pelajar nekad melakukan tawuran. Tak banyak dari mereka yang
membawa senjata tajam seperti sabit dan golok. Nyarisnya lagi, selain siswa
SMA, siswa SMP pun juga sering melakukannya. Hal seperti itu seharusnya tidak
terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Apa jadinya kalau generasi penerus
bangsa yang seharusnya belajar malah tawuran? Apa negara Indonesia mau dianggap
negara yang brutal akibat ulah pemudanya? Sedangkan kita tahu bahwa masa depan
bangsa ada di tangan pemudanya.
Sebenarnya
banyak sekali hal-hal yang memengaruhi tawuran ini terjadi. Umumnya para
pelajar ini adalah dari sekolah yang biasa dianggap musuh bebuyutan. Musuh
bebuyutan ini bukan berarti sejak zaman dahulu sudah menjadi musuh, tapi para
siswanya saja yang menganggap musuh mereka sendiri. Di hatinya sudah tertanam
sikap balas dendam dan tidak menyukai siswa dari sekolah yang mereka anggap
musuh. Mungkin bisa jadi pemikiran ini muncul dari senior-senior mereka. Jadi,
generasi penerus di sekolahnya mempunyai pandangan terhadap sekolah mana yang
menjadi musuh mereka. Hal ini yang menjadi dasar permasalahan antar ‘peserta’
tawuran. Selanjutnya, asmara juga menjadi sebab dari tawuran. Kita ibaratkan
saja seorang siswa di sekolah A dan di sekolah B menyukai siswi yang sama di
sekolah lain. Tentu mereka akan bertanding untuk merebutkan siswi tersebut.
Jika salah satu dari mereka berhasil mendapatkannya, misalkan siswa di sekolah
A, tentu siswa satunya tidak akan terima. Siswa tersebut akan beranggapan bahwa
ia lebih rendah dari saingannya dan martabatnya akan turun. Secara tidak
langsung pula, siswa yang kalah dalam kompetisi itu akan dipanas-panasi oleh
sang pemenang. Semakin panaslah siswa yang kalah tersebut. Lalu mereka
mencaritakan hal tersebut kepada gengnya. Sudah pasti teman satu gengnya
tersebut akan membantunya. Salah satu cara mereka membantunya adalah dengan
cara tawuran. Mereka akan dianggap gentle
jika berani melakukan tawuran. Padahal sebenarnya, tawuran adalah budaya
pengecut. Tawuran adalah budaya orang primitif. Selain itu, para pelajar
umumnya masih remaja. Mereka masih dalam proses pendewasaan. Tingkat emosional
mereka masih labil. Karena masih labil dan belum bisa mengendalikan emosi,
mereka akan mudah marah. Kehidupan keluarga juga berpengaruh dalam masalah ini.
Anak yang merupakan hasil broken home
atau kurang kasih sayang orang tua kebanyakan akan mencari pelampiasan yang
menurut mereka nyaman. Alhasil, mereka akan bergabung dengan geng-geng nakal di
sekolah yang bisa memengaruhi mereka sendiri.
Dari
berbagai kasus tawuran yang sering terjadi, hukuman pasti akan diberikan bagi
para pelakunya. Entah itu hukuman berat atau ringan, yang jelas akan
mendapatkan ganjaran yang setimapal. Rata-rata remaja yang melakukan tawuran
selalu merusak fasilitas umum dan mengganggu kenyamanan orang lain. Oleh sebab
itu tak heran jika banyak polisi yang mengamankannya. Sekolah yang bersangkutan
biasanya juga menghukum para siswanya. Mulai dari diskors, samapi dikeluarkan
dari sekolah (drop out). Hal itu
dibuat agar siswanya jera terhadap apa yang telah mereka lakukan. Akhir-akhir
ini bahkan ada siswa yang harus berurusan dengan polisi dan masuk dalam sel
tahanan karena telah melanggar undang-undang, dimana dalam tawuran tersebut
menewaskan korban yang tak ikut campur.
Lalu,
siapakan yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus seperti itu? Sebenarnya
kita semua harus bertanggung jawab dalam menangani masalah tersebut. Guru
sebagai pembimbing, sudah seharusnya membimbing siswa dan terus mengawasinya
selama para siswa di sekolah. Tidak hanya itu, di era yang modern ini, para
guru juga harus mengontrol siswanya melalui social
network seperti facebook dan twitter.
Para guru harus sesegera mungkin mencegah penyebab terjadinya tawuran. Dengan
begitu, tawuran yang akan dilakukan oleh para muridnya akan bisa dicegah.
Selain para guru, sekolah juga harus bertanggung jawab dengan memberikan
seminar-seminar tentang tawuran atau memberikan hukuman bagi siswa yang
terlibat tawuran. Orang tua juga sudah seharusnya wajib dalam mengawasi
putra-putrinya. Ini dapat dilakukan dengan cara yang sama, yaitu mengawasinya
setiap saat. Dengan begitu, orang tua akan tahu bagaimana sikap anak mereka.
Orang tua juga harus memberikan perhatian yang lebih terhadap anak-anaknya.
Mungkin saja penyebab tawuran adalah kurangnya kasih sayang den perhatian orang
tua terhadap anaknya. Pemerintah melalui kepolisisan dan dinas pendidikan juga
bertanggung jawab atas hal tersebut. Dinas pendidikan atau instansi lain bisa
membuat program-progam pencegahan tawuran. Sedangkan polisi bisa membubarkan
pelajar yang terlibat tawuran. Terakhir, media massa yang juga harus
bertanggung jawab. Media massa adalah elemen penting dalam kasus tawuran antar
pelajar. Media massa akan terus mengabarkan berita-berita yang ter-update.
Apakah
semua sudah bertanggung jawab? Kalau sudah, mengapa masih banyak tawuran?
Bukankan ini salah pemerintah? Bukankah ini salah siswa itu sendiri? Bukankan
ini salah media massa yang terus mengabarkan berita-berita tawuran?
Kita tidak seharusnya
menyalahkan satu sama lain. Kita juga tidak mudah memang menyelesaikan masalah
ini kalau satu sama lain tidak ikut bertanggung jawab. Lho, bukankah ini salah pemerintah karena tidak mengajarkan budi
pekerti terhadap generasi mudanya? Memang begitu, namun pemerintah pasti punya
alasan lain mengapa pelajaran budi pekerti dihapuskan. Ini mungkin bukan
dihapuskan, karena pelajaran budi pekerti sudah seharusnya menjadi praktek
dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya teori. Kalau begitu ini salah media
massa dong karena terus mengabarkan
berita seperti itu? Tidak. Sekarang telah ada kebebasan pers dan kebebasan
berpendapat. Jadi wajar saja kalau banyak berita dan opini publik yang muncul
di layar televisi. Untuk itu, kita sebagai masyarakat yang sebangsa sudah
selayaknya jangan saling menyalahkan sama sini. Jangan mencari tahu siapa yang
salah dan siapa yang benar. Masalah seperti ini haruslah diselesaikan bersama.<a href="http://www.indonesiaberkibar.org"><img src="http://indonesiaberkibar.org/sites/all/themes/images/GIB-1.jpg" style="width: 400px; height: 400px;" /></a>