Senin, 05 November 2012

Tawuran Antar Pelajar, Tanggung Jawab Siapa?



Akhir-akhir ini banyak sekali media massa yang mengabarkan tentang tawuran antar pelajar. Bahkan berita tentang tawuran dapat kita saksikan hampir setiap hari di televisi. Mulai dari tawuran yang biasa sampai sampai yang memakan korban jiwa. Mulai dari remaja di kota-kota besar, seperti Jakarta, sampai di banyak daerah di Indonesia. Nyaris memang. Siswa yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk belajar, malah menyeleweng dari aturan. Misalnya beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh berita tawuran yang dilakukan oleh siswa SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70 Jakarta. Tawuran tersebut mengakibatkan tewasnya seorang pelajar kelas X SMAN 6 Jakarta, Alawy Yusianto Putra, tewas akibat luka sabetan benda tajam di bagian dadanya. Hebohnya lagi, Alawy tidak terlibat dalam tawuran tersebut, ia hanya menjadi korban tawuran. Tak hanya itu saja. Masih banyak berita tawuran yang kerap dilakukan oleh para pelajar. Bermodalkan rasa dendam atau cemburu dengan lawannya, para pelajar nekad melakukan tawuran. Tak banyak dari mereka yang membawa senjata tajam seperti sabit dan golok. Nyarisnya lagi, selain siswa SMA, siswa SMP pun juga sering melakukannya. Hal seperti itu seharusnya tidak terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Apa jadinya kalau generasi penerus bangsa yang seharusnya belajar malah tawuran? Apa negara Indonesia mau dianggap negara yang brutal akibat ulah pemudanya? Sedangkan kita tahu bahwa masa depan bangsa ada di tangan pemudanya.
Sebenarnya banyak sekali hal-hal yang memengaruhi tawuran ini terjadi. Umumnya para pelajar ini adalah dari sekolah yang biasa dianggap musuh bebuyutan. Musuh bebuyutan ini bukan berarti sejak zaman dahulu sudah menjadi musuh, tapi para siswanya saja yang menganggap musuh mereka sendiri. Di hatinya sudah tertanam sikap balas dendam dan tidak menyukai siswa dari sekolah yang mereka anggap musuh. Mungkin bisa jadi pemikiran ini muncul dari senior-senior mereka. Jadi, generasi penerus di sekolahnya mempunyai pandangan terhadap sekolah mana yang menjadi musuh mereka. Hal ini yang menjadi dasar permasalahan antar ‘peserta’ tawuran. Selanjutnya, asmara juga menjadi sebab dari tawuran. Kita ibaratkan saja seorang siswa di sekolah A dan di sekolah B menyukai siswi yang sama di sekolah lain. Tentu mereka akan bertanding untuk merebutkan siswi tersebut. Jika salah satu dari mereka berhasil mendapatkannya, misalkan siswa di sekolah A, tentu siswa satunya tidak akan terima. Siswa tersebut akan beranggapan bahwa ia lebih rendah dari saingannya dan martabatnya akan turun. Secara tidak langsung pula, siswa yang kalah dalam kompetisi itu akan dipanas-panasi oleh sang pemenang. Semakin panaslah siswa yang kalah tersebut. Lalu mereka mencaritakan hal tersebut kepada gengnya. Sudah pasti teman satu gengnya tersebut akan membantunya. Salah satu cara mereka membantunya adalah dengan cara tawuran. Mereka akan dianggap gentle jika berani melakukan tawuran. Padahal sebenarnya, tawuran adalah budaya pengecut. Tawuran adalah budaya orang primitif. Selain itu, para pelajar umumnya masih remaja. Mereka masih dalam proses pendewasaan. Tingkat emosional mereka masih labil. Karena masih labil dan belum bisa mengendalikan emosi, mereka akan mudah marah. Kehidupan keluarga juga berpengaruh dalam masalah ini. Anak yang merupakan hasil broken home atau kurang kasih sayang orang tua kebanyakan akan mencari pelampiasan yang menurut mereka nyaman. Alhasil, mereka akan bergabung dengan geng-geng nakal di sekolah yang bisa memengaruhi mereka sendiri.
Dari berbagai kasus tawuran yang sering terjadi, hukuman pasti akan diberikan bagi para pelakunya. Entah itu hukuman berat atau ringan, yang jelas akan mendapatkan ganjaran yang setimapal. Rata-rata remaja yang melakukan tawuran selalu merusak fasilitas umum dan mengganggu kenyamanan orang lain. Oleh sebab itu tak heran jika banyak polisi yang mengamankannya. Sekolah yang bersangkutan biasanya juga menghukum para siswanya. Mulai dari diskors, samapi dikeluarkan dari sekolah (drop out). Hal itu dibuat agar siswanya jera terhadap apa yang telah mereka lakukan. Akhir-akhir ini bahkan ada siswa yang harus berurusan dengan polisi dan masuk dalam sel tahanan karena telah melanggar undang-undang, dimana dalam tawuran tersebut menewaskan korban yang tak ikut campur.
Lalu, siapakan yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus seperti itu? Sebenarnya kita semua harus bertanggung jawab dalam menangani masalah tersebut. Guru sebagai pembimbing, sudah seharusnya membimbing siswa dan terus mengawasinya selama para siswa di sekolah. Tidak hanya itu, di era yang modern ini, para guru juga harus mengontrol siswanya melalui social network seperti facebook dan twitter. Para guru harus sesegera mungkin mencegah penyebab terjadinya tawuran. Dengan begitu, tawuran yang akan dilakukan oleh para muridnya akan bisa dicegah. Selain para guru, sekolah juga harus bertanggung jawab dengan memberikan seminar-seminar tentang tawuran atau memberikan hukuman bagi siswa yang terlibat tawuran. Orang tua juga sudah seharusnya wajib dalam mengawasi putra-putrinya. Ini dapat dilakukan dengan cara yang sama, yaitu mengawasinya setiap saat. Dengan begitu, orang tua akan tahu bagaimana sikap anak mereka. Orang tua juga harus memberikan perhatian yang lebih terhadap anak-anaknya. Mungkin saja penyebab tawuran adalah kurangnya kasih sayang den perhatian orang tua terhadap anaknya. Pemerintah melalui kepolisisan dan dinas pendidikan juga bertanggung jawab atas hal tersebut. Dinas pendidikan atau instansi lain bisa membuat program-progam pencegahan tawuran. Sedangkan polisi bisa membubarkan pelajar yang terlibat tawuran. Terakhir, media massa yang juga harus bertanggung jawab. Media massa adalah elemen penting dalam kasus tawuran antar pelajar. Media massa akan terus mengabarkan berita-berita yang ter-update.
Apakah semua sudah bertanggung jawab? Kalau sudah, mengapa masih banyak tawuran? Bukankan ini salah pemerintah? Bukankah ini salah siswa itu sendiri? Bukankan ini salah media massa yang terus mengabarkan berita-berita tawuran?
         Kita tidak seharusnya menyalahkan satu sama lain. Kita juga tidak mudah memang menyelesaikan masalah ini kalau satu sama lain tidak ikut bertanggung jawab. Lho, bukankah ini salah pemerintah karena tidak mengajarkan budi pekerti terhadap generasi mudanya? Memang begitu, namun pemerintah pasti punya alasan lain mengapa pelajaran budi pekerti dihapuskan. Ini mungkin bukan dihapuskan, karena pelajaran budi pekerti sudah seharusnya menjadi praktek dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya teori. Kalau begitu ini salah media massa dong karena terus mengabarkan berita seperti itu? Tidak. Sekarang telah ada kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Jadi wajar saja kalau banyak berita dan opini publik yang muncul di layar televisi. Untuk itu, kita sebagai masyarakat yang sebangsa sudah selayaknya jangan saling menyalahkan sama sini. Jangan mencari tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Masalah seperti ini haruslah diselesaikan bersama.

<a href="http://www.indonesiaberkibar.org"><img src="http://indonesiaberkibar.org/sites/all/themes/images/GIB-1.jpg" style="width: 400px; height: 400px;" /></a>
 www.indonesiaberkibar.org

Minggu, 28 Oktober 2012

MENJADI GURU YANG MENYENANGKAN



Guru mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Maka tak heran jika guru juga sebagai kunci keberhasilan seorang siswa dalam pemahaman materi. Biasanya, siswa mengikuti apa yang dikatakan oleh guru, meniru apa yang dilakukan oleh guru, dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh guru. Untuk itu, menjadi seorang guru haruslah berhati-hati, terutama menjadi guru SD atau TK. Anak kecil masih belum tahu mana yang baik dan mana yang benar. Disitulah peranan guru dalam proses pembelajaran. Dalam usia siswa yang masih kecil, mereka harus dididik menjadi pribadi yang baik dan berakhlak. Para pendidik itulah yang membentuk karakter si anak, termasuk guru. Tidak hanya torfokus dalam tingkat TK atau SD saja, untuk tingkat SMP dan SMA, atau bahkan kuliah, peran dan tanggung jawab seorang guru semakin berat. Para pelajar tingkat menengah ini rata-rata masih remaja, yaitu proses transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Umumnya meraka masih mempunyai emosional yang labil. Mereka masih mencari jati diri mereka itu seperti apa. Mereka juga tidak suka diatur atau dikekang-kekang.  Selain peranan orangtua, keluarga, dan teman, peran guru juga sangat penting. Para guru akan selalu lebih berhati-hati dalam menyikapi tingkah laku remaja. Dalam proses pembelajaran sendiri, para guru haruslah mengerti dan memahami keinginan dan kemauan remaja saat ini. Jadi, antara guru dan murid akan mendapatkan hal yang diinginkan.
            Para siswa yang umumnya sedang menempuh pendidikan menengah (SMP/SMA), biasanya mempunyai keluhan dalam proses pembelajaran di sekolah.  ‘Males ah, gurunya killer’, itu mungkin sudah menjadi respon yang umum di kalangan remaja ketika berhadapan dengan guru yang killer atau suka marah-marah. Dalam banyak film atau sinetron di negeri ini, guru yang killer biasanya digambarkan dengan wajahnya yang menyeramkan, menggunakan kacamata, tak pernah senyum, dan lain sebagainya. Mungkin itu semua benar. Apalagi saat mengajar, sang guru menggunakan nada orang yang seperti marah-marah, itu menambah kemalasan para siswa untuk belajar dengan guru tersebut. Pada umumnya, tak ada guru yang berharap menjadi guru killer. Semuanya menginginkan menjadi seorang guru yang disegani para siswanya dan mudah dalam menyampaikan materi. Tapi, biasanya itu adalah watak guru itu sendiri.
            Walau hampir sama dengan guru killer, tipe guru yang satu ini cenderung tidak suka membuat kemarahan, tapi membuat suasana jadi membosankan. Ya, guru yang tergabung dalam ‘kasta’ ini mempunyai  teaching style´yang membosankan alias membuat suasana jadi tidak mendukung untuk belajar. Mereka biasanya datang ke kelas, kemudian menjelaskan (dibaca membaca) materi yang ada di buku. Setelah selesai, mereka akan memberi tugas kepada para siswanya. Karena para siswanya sudah mempunyai LKS (Lembar Kerja Siswa), guru tersebut hanya menyuruh mengerjakan bab sekian sampai bab sekian; bab ini sampai bab itu. Sementara para siswa mengerjakan apa yang diperintah, guru tersebut pergi dari kelas, atau bahkan pergi dari sekolah. Tapi biasanya pergi ke kantin dengan alasan lapar. Setelah selesai, guru tersebut kembali ke kelas dan mengoreksi pekerjaan siswa. Hal seperti itulah yang terkadang membuat sebagian siswa malas belajar. Mereka malas karena materi yang disampaikan belum masuk ke otak, tapi sudah dikasih tugas lagi.
            Ada langit pasti ada bumi. Nah, kalau ada guru yang menyebalkan dan membosankan, pasti ada guru yang membuat bersemangat dan menyenangkan dalam belajar. Guru yang seperti ini pasti banyak diinginkan oleh semua siswa. Mereka cenderung menjadikan murid sebagai subjek (pelaku dalam proses pembelajaran). Jadi, tidak lagi menggunakan metode yang tradisional/ketinggalan zaman, yang mana guru hanya menyuapkan materi atau guru yang menjadi subjek pembelejaran. Selain itu, mereka pasti mempunyai ribuan macam cara untuk membuat peserta didiknya tidak mengantuk saat pelajaran. Karena mereka yakin kalau siswa senang dalam belajar, para siswa akan mudah menangkap materi dan akan lebih mudah untuk mencapai target yang diinginkan. Cara yang mereka lakukakan untuk mengobati rasa kantuk yaitu dengan mengajak belajar ke luar ruangan, mengajak diskusi antar siswa, memberikan model peraga, atau bahkan mengajak bernyanyi. Mereka juga tidak ingin memberikan tugas yang monoton, seperti mencatat buku. Seperti yang disebutkan di atas, mereka mempunyai ribuan cara untuk ‘membunuh’ rasa kantuk, jadi mencatat bisa diganti dengan membuat sebuah mindmap. Sebetulnya masih banyak hal-hal yang dilakukan oleh guru yang aktif seperti ini dalam menanggulangi kebosanan para siswa.
            Untuk menjadi guru yang menyenangkan bagi siswanya tidaklah mudah. Apalagi untuk guru yang tergolong killer. Mereka harus memulainya dari hal yang paling kacil. Setiap guru sebaiknya memahami apa yang diinginkan oleh para siswanya. Kalau siswa TK dan SD, tentu maunya bermain. Sedangkan untuk siswa SMP/SMA, mereka mungkin menginginkan sebuah kebebasan. Kebebasan di sini dalam arti tidak mau dikekang dan bisa mengeskspresikan keinginannya. Walau begitu, guru harus terus mengawasinya. Setelah mengerti keinginginan para muridnya, sesekali buat cara mengajar menjadi apa yang diinginkan. Misalnya, membuat sebuah permainan anak SD yang ada kaitannya dengan pelajaran di kelas. Tidak hanya itu saja. Para guru harus rela mengorbankan waktu luangnya untuk membuat sebuah alat peraga atau semacamnya. Sehingga nantinya, siswa tidak hanya berpatok pada buku saja, yang terkadang susah untuk dipahami. Dengan adanya alat peraga, siswa akan lebih mudah dalam mempelajarinya. Selanjutnya, guru harus sering membuat tugas dalam kelompok, agar beban siswa tersebut tidak terlalu berat. Bisa juga dalam sebuah kelompok membuat sebuah mindmap yang nantinya dipresentasikan ke depan kelompok lain. Jauhi juga tugas-tugas yang berhubungan dengan mencatat, karena sebagian siswa susah untuk menghafal catatannya. Dan yang paling penting, saat pelajaran berlangsung, sering-sering juga memberi pertanyaan kepada para siswa. Dengan demikian, para siswa akan lebih mudah dalam memahami materi yang disampaikan.
            Guru yang killer itu tidak disenangi oleh kebanyakan siswa. Demikian juga dengan guru yang membuat suasana kelas jadi membosankan. Itu semua akan menghambat siswa dalam belajar. Umumnya siswa menyukai guru yang tidak monoton dan tidak tradisional. Kalau seorang guru membuat suasana aktif di kelas, para siswa mungkin akan lebih mudah menerima materinya. Kalau siswa mudah menerima dan memahami materi, hal tersebut akan membuat target guru dan siswa menjadi lebih mudah dicapai. Jadi, metode belajar yang dimiliki oleh guru akan berdampak pada pemahaman siswa itu sendiri.


http://indonesiaberkibar.org/sites/all/themes/images/GIB-2.jpg

Jumat, 26 Oktober 2012

CERITA PENGALAMAN : GURU NGAJIKU

                    Saya tinggal di sebuah desa yang jauh dari Kota Palembang - Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan. Jaraknya yang sekitar 200 km membuat anak-anaknya tidak terlalu terpengaruh terhadap kemajuan zaman (pada waktu itu). Ketika saya masih SD, masih begitu banyak permainan tradisional yang dimainkan oleh saya dan teman-teman saya. Begitu juga dengan pelajaran agama. Saya harus ditanamkan pendidikan agama oleh orang tua saya. Begitu pun dengan taman-teman saya.
                  Seperti layaknya di daerah-daerah lain di Indonesia, mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar bertani. Mungkin hanya beberapa orang yang menjadi guru atau wiraswasta, termasuk ayah saya yang seorang guru SD. Namun mereka semua mempunyai pendirian yang sama – membekali anak-anaknya dengan ilmu agama. Tidak mengherankan jika sejak SD, bahkan TK, tiap sore banyak anak-anak yang mengaji. Anak-anak biasanya berangkat bersama menggunakan sepeda, sekitar pukul tiga sore. Ya, memang sebagian masyarakat di daerah saya beragama islam. Maka dari itu, di sana sangat mudah mencari mushala, masjid, bahkan pondok pesantren sekalipun.
                  Saat kelas I sampai dengan kelas III SD, saya termasuk anak yang bandel dalam urusan mengaji (belajar membaca Al-Quran). Saya sering berpindah-pindah TPA (Taman Pendidikan Al-Quran, tempat anak-anak belajar mengaji). Saya juga sering dimarahi oleh orang tua saya gara-gara saya sering absen atau malas mengaji. Itu semua karena saya tidak menemukan tempat yang cocok untuk belajar mengaji. Semua TPA mempunyai sistem yang tak beda jauh, dimana guru hanya menyimak murid-muridnya membaca Iqro (buku khusus untuk belajar membaca Al-Quran), kemudian hafalan doa sehari-hari. Karena ayah saya ingin agar saya cepat bisa membaca Al-Quran dengan lancar, ayah saya memutuskan agar saya belajar private. Belajar private di sini bukan berarti guru datang ke rumah dengan bayaran yang bisa di bilang wah, tapi saya sendiri yang datang ke rumah guru ngaji saya.
                  Namanya adalah Ust. Mustofa. Beliau adalah tetangga saya, walaupun rumahnya tak begitu dekat dengan rumah saya. Setahu saya, beliau adalah petani biasa. Namun beliau juga mengajar di pesantren dekat rumahnya. Wajar saja, Ust. Mustofa pernah belajar di salah satu pesantren yang ada di Pulau Jawa cukup lama, jadi pengetahuan agamanya sangat luas.
                  Mulai kelas IV SD, sekitar tahun 2005, saya mulai belajar mengaji dengan Ust. Mustofa. Dengan mengendarai sepeda, tiap malam saya datang ke rumahnya. Itu semua karena perintah ayah saya agar saya bisa membaca Al-Quran, bahkan mendalaminya. Ya, karena tak ada siswa lain, saya hanya sendirian. Di ruangan mungkin hanya ada Ust. Mustofa, Bu Itis (istrinya), Ima (anak sulungnya), dan saya. Saya berangkat sesudah Maghrib dan pulang sebelum Isya’. Walau belajarnya tak lebih dari satu jam, namun lebih efiseian karena jumlah siswanya yang hanya satu, bisa dibilang anak tunggal. Dan saya masih ingat betul ketika pertma kali Ust. Mustofa mengajarkan saya membaca surat Al-Fatihah – surat pertama dalam Al-Quran. Waktu itu saya akui kalau saya masih cacat dalam membaca Al-Quran. Perlahan-lahan saya mulai nyaman belajar mengaji di sana.
                 Setiap bulan siswanya selalu bertambah. Ini karena saya selalu mengajak teman-teman saya untuk ikut ngaji bersama di sana. Semakin hari terus semakin bertambah. Bukan hanya anak SD yang mengaji di sana, anak SMP pun juga banyak yang mengaji di sana. Saya pun juga mengajak adik saya untuk menuntut ilmu di sana. Walau hanya menggunakan rumah beliau sebagai tempat belajar, semua merasakan kenyamanan yang sama. Tidak hanya diajarkan membaca Al-Quran, semuanya juga diajarkan sopan santun, fikih, sejarah islam, dan masih banyak lagi.
                Layaknya simbiosis mutualisme – saling menguntungkan. Itulah yang dapat digambarkan antara para siswa, orang tua dan Ust. Mustofa. Dalam hal ini, para siswanya mendapatkan banyak ilmu yang sangat bermanfaat, sedangkan Ust. Mustofa juga mendapat keuntungan dari kami. Beliau bisa dikatakan menjadi ustadz yang sedang naik daun. Setiap ada pengajian, beliau selalu menjadi tamu khusus. Ust. Mustofa juga telah mempunyai jadwal ‘manggung’, dimana setiap Rabu malam dan Sabtu malam beliau harus menghadiri pengajian. Belum lagi undangan-undangan pengajian lainnya yang bisa datang setiap ada acara. Sedangkan orangtua, mereka telah memberikan kepercayaannya kepada Ust. Mustofa terhadap anak-anaknya untuk belajar agama di sana.
               Hingga saya SMP, muridnya pun semakin bertambah. Mulai dari anak SD hingga SMP pun ada. Karena rumahnya sudah bisa dikatakan overload untuk menampung siswa sebanyak itu, maka dibangunlah mushala. Ya, Ust. Mustofa beserta keluarga besarnya dengan bantuan para orang tua murid mampu mendirikan mushala dengan biaya sendiri di samping rumahnya. Namanya juga mushala, ukurannya tak sebesar masjid-masjid pada umumnya. Mushala tersebut dinamakan Wali Songo, karena ayahnya Ust. Mustofa mempunyai sembilan anak. Walau tak begitu besar, mushala ini bisa menampung siswa-siswanya untuk belajar dam beribadah.
              Sistem belajar atau mengajinya pun juga semakin membaik dari tahun ketahun. Karena semakin banyak murid yang mengaji di sana sedangkan tenaga pengajarnya hanya Ust. Mustofa, istri, dan saudaranya, maka beberapa anak diberi kepercayaan untuk menyalurkan ilmunya kepada anak-anak SD, termasuk saya. Saya diberi kepercayaan untuk mengajari anak-anak SD membaca Iqro/Al-Quran. Banyak anak-anak yang harus saya ajari. Sebenarnya, maksud Ust. Mustofa sendiri adalah agar ilmu yang telah ia berikan bisa bermanfaat untuk orang lain. Jadi, ilmu yang telah saya terima haruslah diamalkan ke orang lain. Selain itu, setiap Ramadhan tiba, Ust. Mustofa sering mengadakan buka bersama. Tujuannya tak lain hanya untuk mempererat tali persaudaraan satu sama lain. Walau hanya kue atau makan makanan ringan yang diberikan secara ikhlas dari orang tua murid, semua tampak menikmatinya.
              Di sana, para murid juga ditanamkan sikap terpuji, misalnya selalu bersyukur. Hal ini terlihat ketika salah seorang siswa mendapat juara kelas di sekolahnya, atau mendapat juara dalam sebuah perlombaan, Ust. Mustofa selalu mengadakan syukuran bersama. Semua anak ikut berdoa, berdzikir, bahkan terkadang mendapat makanan dari orang tua murid tersebut. Selain itu, sebelum ulangan/ujian sekolah tiba, Ust. Mustofa juga mengajak murid-muridnya untuk berdoa meminta petunjuk kepada-Nya agar diberikan kemudahan dalam menghadapi ujian. Kegiatan-kegiatan seperti itu mereka ikuti dengan antusias. Para orang tua murid juga merespon baik terhadap kegiatan seperti itu. Sedangkan program belajar yang dimiliki oleh Ust. Mustofa yang menurut saya bagus adalah kegiatan yasinan tiap rumah. Jadi, tiap dua minggu sekali, tepatnya Sabtu sore, Ust. Mustofa mengajak para muridnya untuk membaca surat Yasin dan dzikir bersama di salah satu rumah murid. Dua minggu berikutnya pindah ke rumah murid lainnya. Begitu pun seterusnya.                            Banyak hal yang dapat memotivasi saya dari apa yang Ust. Mustofa miliki. Pertama, keikhlasan hatinya yang patut saya segani. Tahukah Anda? Ust. Mustofa tidak pernah sekalipun meminta bayaran dalam mengajar murid-muridnya. Ia benar-benar ikhlas melakukan itu semua karena Allah semata. Mungkin Ust. Mustofa akan meminta uang hanya untuk keperluan mengaji, seperti membeli spidol. Kedua, kesabarannya yang tiada henti. Ia selalu sabra dalam segala kondisi. Saya pernah melihat Ust. Mustofa dalam keadaan yang benar-benar letih karena selepas pulang dari pengajian. Namun beliau tetap menjalankan amanahnya, yaitu mengajar murid-muridnya. Sebenarnya masih banyak lagi sikap-sikapnya yang patut dicontoh dalam membangun generasi muda saat ini menjadi generasi yang berilmu dan berakhlak.
              Karena saya melanjutkan SMA di Bogor, saya tidak bisa lagi membantu Ust. Mustofa mengajar lagi atau pun mengaji di sana. Walau demikian, tiap kali liburan, saya selalu sempatkan diri untuk mengunjunginya ataupun membantunya mengajar. Ust. Mustofa memang pernah perpesan kepada saya, jika sudah menjadi ‘orang’, jangan pernah lupakan semua orang yang telah membantumu.
Assalamu'alaikum.... Wah sudah lama saya tidak buka/posting di blog... Entah terakhir postingnya kapan.. Yeah (antara suka atau tidak suka) di kelas XI ini, saya menjadi siswa social science. Yah kalau di SMA umum sama aja sih jadi anak IPS. Memang sih antara senang dan nggak senang. Tapi persentase nggak senangnya sih lebih besar dikit (dulu, pas awal masuk). Intinya ya gitu. Saya ngga suka kelas sosial karena satu hal, cita-cita saya yang ingin menjadi dokter harus kandas di kelas sosial (lebai). Memang cita-citaku sejak kecil ingin jadi dokter. Karena nilai IPAku lebih kecil dari IPS, ya mau tak mau harus masuk kelas social. Well, mendingan berpikir positif ke depan aja. Kalau saya nanti masuk Fakultas Kedokteran di manapun universitasnya (karna pengen jadi dokter), tau sndiri lah biaya kedokteran itu selangit. Entah apa yang membuat biaya kedokteran sedikit (banyak) lebih mahal dari jurusan lainnya. Tapi itulah dunia. Malah ada saudara saya yang bilang bahwa dokter itu kerjanya nyari orang sakit, semakin banyak orang yang sakit, semakin makmur hidupnya (maaf ya pak dokter) :) Oke, liburan semester memang sudah selesai beberapa bulan yang lalu, libur idul fitri juga sudah selesai. Saya sudah mulai merasakan kenyamanan dalam kelas sosial. Di sini, saya duduk di kelas XI Social N. 'N' itu nama inisial student advisor-ku. Setiap hari, aku belajar bersama 24 anak lainnya di kelas, tanpa ada Biologi, Kimia, dan F.isika. Hidup kurang indah memang tanpa eksakta. Di kelas Social N, saya benar-benar sudah nyaman bersama kawan-kawan lainnya. Kelasku biasa disebut feminism class, dimana perempuan bisa berkuasa. Maksudnya, jumlah anak perempuan 20, sedangkan laki-lakinya hanya 5 orang. Nyaris memang. Sedangkan jumlah anak laki-laki di kelas lainnya bisa mencapai lebih dari kelas saya. okelah itu dulu, nyambungnya nanti,,,,

Minggu, 20 Mei 2012

Hiking

Satu lagi pengalamanku yang luar biasa serunya, yaitu pergi ke air terjun pas Leadership Camp. Air terjun mungkin udah biasa buat kita, tapi ini bener-bener yang nggak biasa. Baru pertama ini juga aku pergi ke air terjun se-seru ini. Semak aja deh ceritanya... Hari itu, Selasa (17 April) kami (siswa SABogor) masih dalam kegiatan Ladership Camp di kaki Gunung Salak, tepatnya di Cidahu. Pagi hari aku harus melawan dinginnya udara gunung dan mandi dengan “air es”. Dinginnya ampun dehh... Selesai makan kami sibuk dengan kegiatan masing-masing, ada yagn main bola, nyantai, berfoto ria dll. Tapi sebelum itu kami udah senam pagi, jadinya udah seger buger hahah... Sekitar jam 8 lebih mungkin yaa, kami bersiap-siap menuju air terjun. Mungkin ini bisa dibilang hiking kali ya. Setelah semuanya siap untuk berangkat, langsung deh kami pergi. Tentunya dengan berjalan kaki donk. Boro-boro naik mobil, motor aja belum tentu bisa lewat.. Selama perjalanan, kami menuruni banyak banget tangga. Entah berapa anak tangga. Setelah tangga dituruni, lewat sawah yang sawahnya bener-bener kayak di Bali (sengkedan). Nah abis itu masuk ke hutan, pohonnya gede-gede, tapi ga tau pohon apa namanya. Setelah melewati perjalanan yang panjang dengan lebar jalan mingkin hanya cukup untuk satu orang, akhirnya kami nyampe di air terjunnya.... Kesan pertama saat nyebur ke kolam, di bawah air terjun adalah, dingggiiiiinnnn banget nget airnya (lebai.com). Mungkin baru pertama kali aku ngerasain air sedingin itu... air terjunnya keren kok, walaupun ga tinggi-tinggi amat, dan yang jelas airnya jernih banget... Teman aku ada yang hampir tenggelam gara-gara nyoba untuk berenang deket air terjun yang debit airnya cukup besar. Tapi untuk ada duo “superman” yang menyelamatkannya... Nah pas baliknya, capek banget gilaa,, kami harus naiki tangga yang tadi kami turuni.. tapi seru banget dehhh... Dari cerit tersebut, banyak banget yang bisa kita ambil hikmahnya yaitu : • Untuk mencapai apa yang kita inginkan itu tidaklah mudah, banyak hambatan dan rintangan yang harus kita lewati. Seperti ceritaku, aku harus menuruni tangga, melewati sawah, melewati hutan, melewati sungai hanya untuk mencapai/menikmati air terjun itu. • Kita tidak boleh terlana atas semua nikmat yang telah kita peroleh. Dalam cerita tadi, temanku terlalu menikmati air terjunnya, dia telah terlena terhadap kemungkinan buruk yang akan dia hadapi. Dan benar, dia hampir tenggelam, untung saja masih ada duo “superman” itu, • Untuk mencapai apa yang kita inginkan, kita juga harus bekerja keras dan saling membantu satu sama lain....

Rabu, 16 Mei 2012

Leadership Camp

April lalu, sekolahku mengadakan Leadership Camp. semuanya siswa dan guru berangkat ke Batu Tapak Camping Ground, Cidahu, Sukambumi. Dua hari di sana (16-17). Sumpah deh seru banget. Lokasinya ga jauh dengan Gunung Salak. Yah, Gunung Salak yang baru-baru ini heboh gara-gara ada Sukhoi nyungsep di sana. untung aja pas kemah ga ada pesawat yang nyungsep. selama dua hari satu malam di sana, aku menikmati banget suasana yang ada di sana dengan berbagi macam kegiatan. dan yang bikin aku kagak kuat adalag, suhunya yang super dingin. dan sebelumnya aku tinggal di Sumatera yang ga perna ngrasain dinginnya udara di gungung. apalagi airnya, sumpah deh dingin kayak air es.... bermalam di tenda enak juga, bersama enam temanku, aku tidur di tenda yang kami buat siangnya.. seru dehhhh..... dan yang penting dapet kaooosssss

Minggu, 25 Maret 2012

Agen Sosialisasi

Agen sosialisasi yang berpengaruh kuat terhadap kepribadian saya adalah :

1. Keluarga
Dalam sosialisasi, menurut saya keluarga adalah agen sosialisasi yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian saya. Keluarga juga menjadi dasar terhadap pembentukan kepribadian. Mulai dari keluarga-lah kepribadian saya terbentuk. Dalam keluarga, sifat orangtua juga berpengaruh terhadap sifat keturunanya. Orangtua saya juga sangat mengontrol setiap sikap yang saya lakukan. Mereka akan membenarkan jika terdapat sikap yang kurang baik pada diri saya. Dalam keluarga saya, sikap yang sangat ditonjolkan adalah saling menghargai, taat beribadah serta menghindari sikap egois. Jika seorang anak dididik dengan baik, maka kelak dewasanya juga akan menjadi baik, dan sebaliknya.
2. Teman bermain
Teman bermain/teman pergaulan juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap dewasanya nanti. Jika seorang anak bermain bersama anak yang suka bermain bola, maka anak tersebut juga akan menyukai sepakbola. Demikian juga, bila seorang anak bermain game bersama teman bermainnya, maka anak tersebut juga akan menyukai game. Oleh karena itu, orangtua harus selektif dalam memilih teman bermain anaknya karena berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seorang anak. Jika ia bermain dengan anak yang nakal/bandel, ia juga akan terpengaruh.
3. Media massa
Dalam kehidupan saya, media massa juga berpengaruh terhadap kepribadian. Misalnya, saya akan mengikuti mode pakaian yang dikenakan oleh bintang film di TV. Ketika saya merasa itu baik, saya akan mengikutinya/menirunya. Demikian juga pada anak-anak, jika mereka suka menonton film action, maka anak-anak akan menyukai perkelahian. Selain media cetak dan elektronik, internet juga akan berpengaruh seperti facebook, dan twitter.
4. Sekolah
Menurut saya, sekolah juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Di sekolah kita diajarkan tentang kedisiplinan, kemandirian, saling menghormati serta belajar bertanggung jawab. Kita selalu diberi tugas oleh guru tujuannya adalah melatih kita untuk bisa bertanggung jawab. Di sekolah juga selalu ditanamkan sikap kedisiplinan, dimana setiap siswa harus mematuhi peraturan sekolah, jika melanggar, pasti mendapat hukuman.
5. Agen-agen lain
Dalam hal ini, agen-agen lain adalah tetangga dan masyarakat. Mereka juga mempengaruhi kepribadian seseorang. Mereka akan saling berinteraksi karena dekat dengan kita. Contohnya adalah ketika seorang keluarga hidup di lingkungan perkotaan, maka mereka akan cenderung berprilaku kota. Ketika seorang keluarga hidup di lingkungan yang kumuh, secara otomatis mereka juga akan menjadi keluarga yang kumuh.

Kesimpulan

Agen-agen sosialisasi sangat mempengaruhi kepribadian seseorang. Antar agen-agen sosial juga saling berkaitan. Intinya, agen-agen sosial adalah orang/media yang dekat dengan kita yang bisa mempengaruhi kepribadian kita.

Sabtu, 18 Februari 2012

Tanpa Judul



oke, saya akan menceritakan curahan hati saya tentang Lion House.

Saat pertama kali kenal dengan anak Lion House, aku sudah tak asing dengan wajah mereka. Sepertinya aku sudah pernah melihat wajah mereka sebelumnya. Padahal semua anak Lion House tak ada yang satu daerah denganku. Pertama bertemu, bekerja sama, sharing bareng House Advisor aku masih merasa belum kenal dekat dengan mereka, yah seperti teman biasa.
Selama di sini, kami dituntut untuk bisa bekerja sama dengan member Lion House. Jadi tak heran jika kami selalu bertemu, berkumpul dan membahas sesuatu. Hingga akhirnya, aku merasa mereka adalah keluargaku sendiri. Apalagi di sini aku ga ada keluarga. Mungkin aku menganggap mereka sebagai keluarga karena kami sudah sangat akrap satu sama lain. Selama di sini, kami tertawa bersama, senang bersama, sedih bersama, kecewa bersama, kumpul bersama, makan bersama. Hal inilah yang membuat aku menjadi sangat dekat dengan mereka. Ada 23 anak Lion. Disebutnya sih biasanya Lion Jantan dan Lion Betina. Enatah siapa yang memberi julukan itu. Dan kami jadikan kata "waw wew wow" sebagai penyemangat kami. Entah kenapa dengan kata itu kami jadi semangat.

Sekarang, aku benar-benar merasa mereka adalah keluargaku, mereka bagian dari hidupku. Momen-momen yang sangat bahagia di sini adalah berkumpul dengan mereka, bercanda dengan mereka dan sebagainya. Meski sifat dan karakter kami sama, kami tetep bisa bersatu dan solid.

Di Lion House, aku juga merasa ada temen yang paling berkesan. Mereka sabar, dewasa, bijak dan selalu sayang sama membernya. Mereka adalah House Leader kami. Maya and Niel. Mereka sangat sabar dalam setiap masalah yang ada. Mereka bisa mengatasi semua masalah yang ada. Mereka bisa membuat kami semangat. Walaupun mereka sering berantem, adu mulut ga jelas, Tapi itulah kebahagiaan kami. Aku sangat seneng katika kami berkumpul bersama, entah untuk makan, meeting atau bahas sesuatu bahkan untuk bercanda. Dan mungkin itulah sahabat kami sesungguhnya, meski aku ga pernah curhat sama mereka (maklum, anak Lion suka mendem perasaan). Benar-benar, mereka seperti orang tua di sini, Maya selalu ingetin buat mandi, makan, kumpul, ini lah itu lah bahkan aku sering diingetin tentang etika yang buruk. Kalau Niel, dia suka ingetin PR (sekelas), bangunin tidur (kadang), ingetin shalat, dan apapun itu. Dan semua anak Lion juga ga beda jauh dengan Maya dan Niel. Thanks Lion House

Niel, Gilang,, Dzakir, Jalal, Hedi, Ismail, Rizki, aku, Yossi, Maya, Hasanah, Naja, Rana, Rani, Lusi, Ismi, Hanifah, Lia, Micelyn, Nissa, Echii, Fera, Zulfa and Ms. Ana

Minggu, 12 Februari 2012

Art and Craft Festival

Pada tanggal 19 dan 20 Januari 2012, sekolahku (Sampoerna Academy Bogor) mengadakan Art and Craft Festival. Seperti nama event nya sendiri, kegiatan ini memang dikhususkan untuk bidang seni. Acara ini diadakan tiap tahunnya, dan ini merupakan acara yang pertama di Sampoerna Academy Bogor. Acaranya sangat meriah, berbagai macam lomba dilombakan. Perlombaan ini berdasarkan house, jadi tiap house mempunyai ciri khas tersendiri dan kreatifitas yang berbeda. Dalam lomba kali ini, kegiatan yang dilombakan yaitu : folksong, traditional dance, modern dance, singing competition, poems (puisi), melukis dan karaoke untuk dewan guru. Semua house sangat antusias mengikutinya, termasuk houseku, Lion House. Untuk folksong, kami menyanyikan lagu Ampar-Ampar Pisang dengan kostum adat masing-masing daerah. Traditional dance kami membawakan tarian betawi.

Kami sangat kaget ketika pemenang lomba diumumkan, Lion House mendapat peringkat 1 Folksong, peringkat 1 melukis, dan peringkat 2 singing competition (Nathaniel Juniar).