Senin, 05 November 2012

Tawuran Antar Pelajar, Tanggung Jawab Siapa?



Akhir-akhir ini banyak sekali media massa yang mengabarkan tentang tawuran antar pelajar. Bahkan berita tentang tawuran dapat kita saksikan hampir setiap hari di televisi. Mulai dari tawuran yang biasa sampai sampai yang memakan korban jiwa. Mulai dari remaja di kota-kota besar, seperti Jakarta, sampai di banyak daerah di Indonesia. Nyaris memang. Siswa yang seharusnya mempunyai kewajiban untuk belajar, malah menyeleweng dari aturan. Misalnya beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh berita tawuran yang dilakukan oleh siswa SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70 Jakarta. Tawuran tersebut mengakibatkan tewasnya seorang pelajar kelas X SMAN 6 Jakarta, Alawy Yusianto Putra, tewas akibat luka sabetan benda tajam di bagian dadanya. Hebohnya lagi, Alawy tidak terlibat dalam tawuran tersebut, ia hanya menjadi korban tawuran. Tak hanya itu saja. Masih banyak berita tawuran yang kerap dilakukan oleh para pelajar. Bermodalkan rasa dendam atau cemburu dengan lawannya, para pelajar nekad melakukan tawuran. Tak banyak dari mereka yang membawa senjata tajam seperti sabit dan golok. Nyarisnya lagi, selain siswa SMA, siswa SMP pun juga sering melakukannya. Hal seperti itu seharusnya tidak terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Apa jadinya kalau generasi penerus bangsa yang seharusnya belajar malah tawuran? Apa negara Indonesia mau dianggap negara yang brutal akibat ulah pemudanya? Sedangkan kita tahu bahwa masa depan bangsa ada di tangan pemudanya.
Sebenarnya banyak sekali hal-hal yang memengaruhi tawuran ini terjadi. Umumnya para pelajar ini adalah dari sekolah yang biasa dianggap musuh bebuyutan. Musuh bebuyutan ini bukan berarti sejak zaman dahulu sudah menjadi musuh, tapi para siswanya saja yang menganggap musuh mereka sendiri. Di hatinya sudah tertanam sikap balas dendam dan tidak menyukai siswa dari sekolah yang mereka anggap musuh. Mungkin bisa jadi pemikiran ini muncul dari senior-senior mereka. Jadi, generasi penerus di sekolahnya mempunyai pandangan terhadap sekolah mana yang menjadi musuh mereka. Hal ini yang menjadi dasar permasalahan antar ‘peserta’ tawuran. Selanjutnya, asmara juga menjadi sebab dari tawuran. Kita ibaratkan saja seorang siswa di sekolah A dan di sekolah B menyukai siswi yang sama di sekolah lain. Tentu mereka akan bertanding untuk merebutkan siswi tersebut. Jika salah satu dari mereka berhasil mendapatkannya, misalkan siswa di sekolah A, tentu siswa satunya tidak akan terima. Siswa tersebut akan beranggapan bahwa ia lebih rendah dari saingannya dan martabatnya akan turun. Secara tidak langsung pula, siswa yang kalah dalam kompetisi itu akan dipanas-panasi oleh sang pemenang. Semakin panaslah siswa yang kalah tersebut. Lalu mereka mencaritakan hal tersebut kepada gengnya. Sudah pasti teman satu gengnya tersebut akan membantunya. Salah satu cara mereka membantunya adalah dengan cara tawuran. Mereka akan dianggap gentle jika berani melakukan tawuran. Padahal sebenarnya, tawuran adalah budaya pengecut. Tawuran adalah budaya orang primitif. Selain itu, para pelajar umumnya masih remaja. Mereka masih dalam proses pendewasaan. Tingkat emosional mereka masih labil. Karena masih labil dan belum bisa mengendalikan emosi, mereka akan mudah marah. Kehidupan keluarga juga berpengaruh dalam masalah ini. Anak yang merupakan hasil broken home atau kurang kasih sayang orang tua kebanyakan akan mencari pelampiasan yang menurut mereka nyaman. Alhasil, mereka akan bergabung dengan geng-geng nakal di sekolah yang bisa memengaruhi mereka sendiri.
Dari berbagai kasus tawuran yang sering terjadi, hukuman pasti akan diberikan bagi para pelakunya. Entah itu hukuman berat atau ringan, yang jelas akan mendapatkan ganjaran yang setimapal. Rata-rata remaja yang melakukan tawuran selalu merusak fasilitas umum dan mengganggu kenyamanan orang lain. Oleh sebab itu tak heran jika banyak polisi yang mengamankannya. Sekolah yang bersangkutan biasanya juga menghukum para siswanya. Mulai dari diskors, samapi dikeluarkan dari sekolah (drop out). Hal itu dibuat agar siswanya jera terhadap apa yang telah mereka lakukan. Akhir-akhir ini bahkan ada siswa yang harus berurusan dengan polisi dan masuk dalam sel tahanan karena telah melanggar undang-undang, dimana dalam tawuran tersebut menewaskan korban yang tak ikut campur.
Lalu, siapakan yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus seperti itu? Sebenarnya kita semua harus bertanggung jawab dalam menangani masalah tersebut. Guru sebagai pembimbing, sudah seharusnya membimbing siswa dan terus mengawasinya selama para siswa di sekolah. Tidak hanya itu, di era yang modern ini, para guru juga harus mengontrol siswanya melalui social network seperti facebook dan twitter. Para guru harus sesegera mungkin mencegah penyebab terjadinya tawuran. Dengan begitu, tawuran yang akan dilakukan oleh para muridnya akan bisa dicegah. Selain para guru, sekolah juga harus bertanggung jawab dengan memberikan seminar-seminar tentang tawuran atau memberikan hukuman bagi siswa yang terlibat tawuran. Orang tua juga sudah seharusnya wajib dalam mengawasi putra-putrinya. Ini dapat dilakukan dengan cara yang sama, yaitu mengawasinya setiap saat. Dengan begitu, orang tua akan tahu bagaimana sikap anak mereka. Orang tua juga harus memberikan perhatian yang lebih terhadap anak-anaknya. Mungkin saja penyebab tawuran adalah kurangnya kasih sayang den perhatian orang tua terhadap anaknya. Pemerintah melalui kepolisisan dan dinas pendidikan juga bertanggung jawab atas hal tersebut. Dinas pendidikan atau instansi lain bisa membuat program-progam pencegahan tawuran. Sedangkan polisi bisa membubarkan pelajar yang terlibat tawuran. Terakhir, media massa yang juga harus bertanggung jawab. Media massa adalah elemen penting dalam kasus tawuran antar pelajar. Media massa akan terus mengabarkan berita-berita yang ter-update.
Apakah semua sudah bertanggung jawab? Kalau sudah, mengapa masih banyak tawuran? Bukankan ini salah pemerintah? Bukankah ini salah siswa itu sendiri? Bukankan ini salah media massa yang terus mengabarkan berita-berita tawuran?
         Kita tidak seharusnya menyalahkan satu sama lain. Kita juga tidak mudah memang menyelesaikan masalah ini kalau satu sama lain tidak ikut bertanggung jawab. Lho, bukankah ini salah pemerintah karena tidak mengajarkan budi pekerti terhadap generasi mudanya? Memang begitu, namun pemerintah pasti punya alasan lain mengapa pelajaran budi pekerti dihapuskan. Ini mungkin bukan dihapuskan, karena pelajaran budi pekerti sudah seharusnya menjadi praktek dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya teori. Kalau begitu ini salah media massa dong karena terus mengabarkan berita seperti itu? Tidak. Sekarang telah ada kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Jadi wajar saja kalau banyak berita dan opini publik yang muncul di layar televisi. Untuk itu, kita sebagai masyarakat yang sebangsa sudah selayaknya jangan saling menyalahkan sama sini. Jangan mencari tahu siapa yang salah dan siapa yang benar. Masalah seperti ini haruslah diselesaikan bersama.

<a href="http://www.indonesiaberkibar.org"><img src="http://indonesiaberkibar.org/sites/all/themes/images/GIB-1.jpg" style="width: 400px; height: 400px;" /></a>
 www.indonesiaberkibar.org

1 komentar: